Pancasila

1. Ketuhanan Yang Maha Esa
2. Kemanusiaan Yang Adil dan Beradab
3. Persatuan Indonesia
4. Kerakyatan Yang Dipimpin Oleh Hikmat Kebijaksanaan dalam Permusyawaratan/Perwakilan
5. Keadilan Sosial Bagi Seluruh Rakyat Indonesia

Total Pageviews

Join With Us

 
Senin, 24 Januari 2011

Bahaya Judi

"Sesungguhnya (minuman) khamar (arak/memabukkan), berjudi (berkurban untuk) berhala, dan mengundi nasib dengan panah adalah perbuatan keji termasuk perbuatan setan. Maka, jauhilah perbuatan-perbuatan itu agar kamu mendapat keberuntungan." (al-Maidah: 90).

Ayat di atas secara tegas menunjukkan keharaman judi.

Judi dalam terminologi agama diartikan sebagai 'suatu transaksi yang dilakukan oleh dua pihak untuk kepemilikan suatu benda atau jasa yang menguntungkan satu pihak dan merugikan pihak lain dengan cara mengaitkan transaksi tersebut dengan suatu tindakan atau kejadian tertentu'. (Lihat: Rafiq al-Mishri, Al Maysir wal Qimar, hlm 27-32). Selain judi itu rijs yang berarti busuk, kotor, dan termasuk perbuatan setan, ia juga sangat berdampak negatif pada semua aspek kehidupan.


Mulai dari aspek ideologi, politik, ekonomi, sosial, moral, sampai budaya. Bahkan, pada gilirannya akan merusak sendi-sendi kehidupan berbangsa dan bernegara. Sebab, setiap perbuatan yang melawan perintah Allah SWT pasti akan mendatangkan celaka. Perhatikan firman Allah SWT selanjutnya tentang efek negatif yang timbul dari judi:

''Sesungguhnya setan itu bermaksud permusuhan dan kebencian di antara kamu lantaran (meminum) khamar dan berjudi itu, dan menghalangi kamu dari mengingat Allah dan shalat, maka berhentilah kamu (dari mengerjakan pekerjaan itu).'' (al-Maidah: 91). Karena judi merupakan perbuatan setan, maka wajar jika kemudian muncul upaya-upaya untuk mengaburkan makna judi.

Sebab, salah satu tugas setan terdiri dari jin dan manusia adalah mengemas sesuatu yang batil (haram) dengan kemasan atau nama-nama yang indah, cantik, dan memiliki daya tarik, hingga tampak seakan-akan halal. Allah SWT berfirman, ''Dan demikianlah Kami jadikan bagi tiap-tiap nabi itu musuh, yaitu setan-setan (dari jenis) manusia dan (dari jenis) jin. Sebagian mereka membisikkan kepada sebagian yang lain perkataan-perkataan yang indah-indah untuk menipu manusia.'' (al-An'am: 112).

Juga perhatikan firman-Nya, ''Dan setan pun menampakkan kepada mereka kebagusan keindahan apa yang selalu mereka kerjakan.'' (al-An'am: 43). Rasulullah SAW juga telah mensinyalir perbuatan setan yang demikian itu sebagai, ''Surga itu dikelilingi oleh sesuatu yang tidak menyenangkan, sedangkan mereka (setan) dikelilingi oleh sesuatu yang menyenangkan).'' (HR Bukhari-Muslim).

Menyadari esensi dan bahaya akibat judi itu, maka kita harus selalu waspada dengan berbagai kegiatan berkedok undian, padahal substansinya sebenarnya tetap saja judi. Akhirnya, hendaknya kita selalu mengingat bahwa setiap tetes darah, setiap daging dan tulang yang tumbuh dalam tubuh manusia, juga setiap pertumbuhan dan kemajuan bangsa ini di bidang apa pun, yang diperoleh dari judi dan pendapatan haram lainnya sesungguhnya hanya akan mendatangkan celaka. Bangsa ini tidak segera dapat keluar dari krisis berkepanjangan boleh jadi karena judi masih merajalela di negeri ini, yang mengakibatkan segala usaha dan upaya tidak dapat berkah dan ridla Ilahi. Wallahu a'lam. (Ahmad Kusyairi Suhail)


sumber : Republika
Read more...

Bahasa yang Baik

Islam mengajarkan kepada umatnya untuk berbahasa, tertulis maupun lisan, secara baik. Ini karena pemakaian bahasa yang baik akan mendatangkan kebaikan, tidak saja kepada orang lain tetapi juga kepada dirinya sendiri.
Sebaliknya pemakaian bahasa yang buruk atau jahat juga akan mendatangkan keburukan atau kejahatan, yang pada akhirnya akan kembali kepada dan dirasakan oleh dirinya sendiri. "Jika kamu berbuat baik, berarti kamu berbuat baik bagi dirimu sendiri. Dan jika kamu berbuat jahat, maka kejahatan itu bagi dirimu sendiri''. (QS Al-Isra': 7).

Bahasa atau perkataan yang baik diibaratkan oleh Allah dalam QS Ibrahim 24-25 laksana sebuah pohon yang baik. Akarnya kuat, sehingga mampu menyimpan air dan menahan tanah dari erosi.


Cabang-cabangnya menjulang ke langit, sehingga bisa menjadi tempat berteduh dan memberikan kesejukan dan kenyamanan kepada orang yang berada di sekitarnya. Dan pada setiap musim mengeluarkan buahnya untuk dikonsumsi oleh manusia.

Belajar dari ibarat itu, seorang muslim harus senantiasa memperhatikan kualitas pemakaian bahasaya, baik isi maupun cara menyampaikannya. Kepada siapa ia berbicara, apakah kepada orang tua, guru, teman, bahkan orang yang belum dikenal sekalipun, ia harus bisa menjaga ucapannya.

Bahkan dalam melakukan dakwah, Islam sangat menekankan penggunaan bahasa yang baik, yaitu berupa sikap bijaksana, nasihat dan argumen yang baik (QS An-Nahl: 125). Rasulullah tidak pernah mencerca kaum musyrik yang dengan kasar dan angkuh menolak dakwahnya. Sebaliknya beliau justru memohonkan ampunan dan kebaikan bagi mereka karena mereka tidak tahu.

Selain itu, tingkat keimanan kita ditentukan salah satunya oleh pemakaian bahasa dalam segala aspek kehidupan. Kalau kita tidak mampu berbahasa secara baik, kalau ucapan kita akan membuat orang lain sakit hati, marah, merasa kecil hati, dipojokkan ataupun dipermalukan, misalnya, maka kita dianjurkan lebih baik diam.

Betapa banyak persahabatan menjadi permusuhan dan betapa banyak kawan menjadi lawan hanya gara-gara pemakaian bahasa yang tidak sepatutnya.

Maka sungguh tepat sabda Rasulullah, "Barang siapa yang beriman kepada Allah dan hari akhir, maka hendaklah berkata yang baik atau diam". (HR Bukhari dan Muslim). Atau dalam sabdanya yang lain, "Semoga Allah memberi rahmat orang yang baik bicaranya dan dengannya ia memperoleh keuntungan atau diam dan dengannya ia selamat."

Abu al-Hasan Ali al-Nashri al-Mawardi mengemukakan empat syarat dalam berbicara, yaitu (1) ada perlunya berbicara, (2) pada waktu dan tempatnya, (3) berbicara secukupnya, dan (4) diungkapkan dengan bahasa yang baik.

sumber : Republika
Read more...

Ayo Berjamaah

Rasulullah saw bersabda, ''Tidaklah tiga orang yang berdiam di suatu kota atau suatu desa yang di antara mereka tidak ditegakkan salat jamaah, melainkan setan telah menguasai mereka. Oleh karena itu, engkau wajib berjamaah. Sebab, sesungguhnya serigala itu hanyalah akan memangsa kambing yang sendirian.'' (HR Abu Dawud, Nasai, Ahmad, dan Hakim). Islam tidak lepas dari konteks kehidupan berjamaah. Bahkan ada hukum yang secara langsung berkaitan dengan jamaah, seperti salat, puasa Ramadan, ibadah haji, jihad fi sabilillah, dan dakwah.

Syariat Islam memberikan penghargaan yang sangat tinggi terhadap pelaksanaan salat berjamaaah lima waktu, yaitu 25 atau 27 kali salat sendirian di rumahnya. Salat Isya berjamaah di masjid diberi ganjaran setengah pahala salat malam. Salat Subuh berjamaah di masjid diganjar seperti pahala salat tahajud sepanjang malam.


Siapa saja yang melangkahkan kaki menuju masjid untuk salat berjamaah, pada setiap langkahnya itu satu dosa dihapuskan dan satu derajatnya ditinggikan (HR Al-Khamsah dari Abu Hurairah RA).

Betapa beruntungnya orang berdisiplin dalam melaksanakan kewajiban salat berjamaah dan betapa ruginya orang yang melalaikan salat berjamaah. Masjid dan salat berjamaah lima waktu merupakan media dan instrumen yang sangat vital bagi persatuan dan kesatuan umat, juga mewujudkan persaudaraan lahir batin bagi umat Islam yang ada di sekitarnya.

Ibadah Haji adalah instrumen Islam untuk mempersatukan umat Muslim sedunia. Semuanya memiliki satu kesatuan niat, tujuan, harapan, sikap, dan gerakan. Itu semata-mata kepasrahan dan ketundukan kepada Allah Rabbul Alamin. Sejarah mencatat para khalifah selalu bertemu tiap musim haji dengan para wali (gubernur) yang datang dari berbagai penjuru wilayah negara Khilafah Islamiah.

Kekompakan pasukan mujahid Islam di masa lalu sangat menggentarkan pasukan kafir yang menjadi musuhnya. Alkisah suatu ketika beberapa orang intelijen musuh sedang mengintai pasukan Muslim di tepi sungai.

Tiba-tiba ada yang berteriak di antara mereka, ''Piringku! Piringku!'' Serta merta kawan-kawannya terjun ke sungai mencari piring saudaranya itu. Intelijen musuh berkata, ''Kalau terhadap piring kawannya yang hilang saja mereka begitu peduli, apalagi terhadap nyawa temannya?''

Sikap kompak dalam kesatuan pasukan dan sikap mencari syahid demi tegaknya kalimat Allah yang tertanam pada tiap-tiap prajurit Muslim itulah yang senantiasa memenangkan pertempuran dan menjadi terkenal sebagai pasukan tak terkalahkan. Itu semua berkat tradisi berjamaah yang merupakan ajaran pokok dalam syariat Islam. Ayo berjamaah. Ayo menuju kemenangan! (Muhammad Al Khaththath)

sumber : Republika
Read more...

Asing di Tengah Ramai

Di tengah-tengah para sahabat, Rasulullah SAW mewartakan kondisi umat Islam pada akhir zaman. Rasulullah bersabda, ''Pada akhir zaman nanti, umatku bagaikan memegang api membara di tangannya. Mereka asing di antara para manusia.''

Salah seorang sahabat bertanya, ''Berarti umat Islam menjadi umat minoritas nantinya, ya Nabi Allah?''Rasulullah kemudian menjawab, ''Bukan, bukan!''''Lalu, bagaimana?'' tanya sahabat.

''Pada saatnya nanti hanya segelintir orang dari umatku yang tetap berpegang teguh pada Islam secara konsisten. Mereka ini bagaikan orang asing seperti Islam generasi awal,'' Rasulullah menjelaskan.


Dulu, sewaktu Rasulullah mendakwahkan Islam kepada kaum kafir Quraisy, tanggapan sinis, skeptis disertai caci-maki, hinaan, bahkan siksaan mendera diri Nabi Muhammad SAW. Beliau dan para pengikutnya dengan lantang menyuarakan kebenaran Islam yang agung. Beliau berani menentang arus besar pemikiran, sikap, dan tindakan mayoritas umat dengan penuh keyakinan dan semangat juang kuat.

Dus, tradisi baru yang dikembangkan Rasulullah dan para sahabat dianggap keluar dari pakem, nyeleneh, menyimpang, melawan otoritaritas suci, dan, tentunya, asing di tengah-tengah tradisi kafir Quraisy.

Saat ini, jalan lurus Islam semakin banyak dilalui penduduk bumi. Di tiap jengkal tanah seantero bumi, telah tertanam benih-benih Islam. Ironinya, nomina kuantitas tidak seiring berkelindan dengan kualitas keberagamaan para pemeluknya. Masih relatif sedikit yang benar-benar mau menjalani Islam sebagai matan keyakinan dan cita-cita kehidupan.

Bahkan, acapkali muka sinis, pandangan benci, ucapan sarkastis ditujukan dan ditimpakan kepada minoritas kecil ini. Tidak aneh, bila itu keluar dari musuh-musuh Islam, tetapi yang memprihatinkan justru keluar dari rahim kepribadian umat Islam sendiri. Tampaklah bahwa pewartaan Rasulullah beberapa abad yang lalu telah mewujud menjadi sebuah kenyataan.

Berat memang, menjalani kehidupan di era posmo ini sesuai dengan kaidah agama. Menggenggam kebenaran laksana menggenggam api membara. Bergegas ke masjid manakala suara adzan bergema, mengajak teman ikut kajian keislaman, terlibat dalam kegiatan dakwah, menolak ajakan teman untuk nonton film maksiat, seringkali dicap sebagai tindakan dan pandangan kuno.

Tak pelak, stigma konservatif, dogmatis, literalis, out of date, bahkan fundamentalis harus diterima lapisan minoritas umat ini. Sebaliknya, menjalankan agama semau gue, perilaku bebas nilai, hedonis, permisif, dan sekuler sangat lazim dan populer.

Yang sedikit dan asing inilah yang harus kita jadikan referensi kehidupan. Meski sedikit, mereka tak lekang oleh waktu, tak lapuk diterpa zaman. Mereka adalah manusia suci pengusung panji-panji kebenaran. Mereka selalu meniti jalan kebenaran meski terlalu licin dan sempit. Lantas di manakah kita berpijak? (Farida Annur)


sumber : Republika
Read more...

Arti Sebuah Nama

Lebih dari sekedar sebuah agama, Islam sebagai way of life mengonsepkan bahwa pemberian nama seseorang merupakan bagian yang padu dari proses pendidikan. Sebauh nama berkaitan erat dengan penyandangnya : ketika namanya disebut, secara tidak langsung dia didoakan oleh orang yang memanggilnya. Pun tidak jarang seseorang tersugesti untuk merealisasikan namanya. Nama juga digunakan Rasulullah SAW sebagai reward atas jasa seseorang terhadap Islam.

Dengan kebagusan namanya, setiap umat Nabi Muhammad diharapkan akan hadir di tengah manusia (di dunia dan akhirat) dengan penuh izzah (kebanggan) serta keistimewaan akhlaknya. Rasulullah SAW sendiri mempunya dua buah nama yang mempunyai arti yang sama "Yang Terpuji", yaitu Ahmad (QS. 61 : 6) dan Muhammad. Dipadu dengan keindahan akhlaknya, beliau hadir sebagai figure ideal yang memang pantas untuk dipuji.


Allah SWT secara tegas melarang sesama mukmin untuk memberikan julukan yang buruk (QS. Al-Hujurat : 11). Hal ini diperkuat pula dengan perintah Rasulullah SAW untuk menamai seseorang dengan naman-nama yang baik, karena pada hari kiamat kelak setiap peserta hisab akan dipanggil namanya digandengkan dengan nama bapak masing-masing (HR Abu Dawud dengan sanad hasan).

Dalam proses pendidikan umat Rasulullah SAW juga mencanangkan "gerakan pemberian nama baik" untuk para mukmin. Nama-nama buruk diganti dengan nama yang baik, seperti Harb (perang) diubah menjadi Salim (damai), Al-Mudhhaji (yang berbaring) menjadi Al-Munba'its (yang bangkit/gesit), Hazn (susah) menjadi Sahl (mudah), dan sebagainya.

Sementara untuk nama yang sudah baik dihias dengan julukan yang menggambarkan nilai plus seseorang seperti julukan-julukan Singa Allah (Hamzah bin Abdul Muthalib), Hawari Rasulullah (Zubair bin Awwam), Yang Cemerlang dan Yang Suci (Fathimah binti Muhammad), Al-Faruq (Umar bin Khattab) dikalungkan kepada para tokoh terdepan Islam sebagai reward bagi jasa-jasanya dalam syi'ar dakwah Islam.

Adapun hikmah yang dapat kita petik dari gambaran di atas adalah : Pertama, Rasulullah SAW sebagai murabbi (pendidik) utama sungguh memperhatikan secara cermat segala aspek dalam diri mutarobbi (anak didik). Dalam hal ini aspke psikologis menjadi sorotan utama beliau.

Kedua, mari kita mengakui kesalahan kita selama ini. Kita semua merupakan murobbi, paling tidak untuk putra/putri kita masing-masing. Sudahkah kita memberikan nama yang baik, atau julukan yang baik sebagai reward (hadiah) atas sikap mereka yang manis? Ataukah kita lebih sering memberikan julukan yang memalukan sebagai punishment (hukuman)?

Sementara itu patut disayangkan bahwa nama-nama bagus semisal Siti Aisyah, Ahmad, Nurlia dan Salamah dikisahkan secara miring dalam beberapa lagu yang berkonotasi erotisme jahiliyah. Hal ini menjadi "sebab nilai setitik rusak susu sebelanga". Untuk membersikan susu, "Gerakan Nama Baik untuk Semua" ada baiknya dibudayakan kembali.

Masalahnya, siapkah kita mendidik putra/putrid kita menjadi pribadi sesuai namanya? (Sri Vira Chandra, S.S)

sumber : Republika
Read more...

Anugerah Terindah

Rasulullah SAW bersabda, ''Empat macam dari kebahagiaan manusia, yaitu istri yang salehah, anak yang berbakti, teman-temannya adalah orang-orang yang baik, dan mata pencahariannya berada dalam negaranya sendiri.'' (HR Dailami).

Salah satu hal yang dicari oleh setiap manusia dalam kehidupan ini adalah kebahagiaan, meskipun setiap orang berbeda indikatornya. Ada sebagian orang yang menilai kebahagiaan itu ketika memiliki harta yang banyak. Ada pula yang menilai kebahagiaan dengan pangkat dan jabatan yang diraihnya. Tetapi, bagi seorang Muslim, kebahagian itu bukan diukur dengan harta atau pangkat yang dimilikinya semata.


Kebahagian sejati bagi seorang Muslim, sebagaimana hadis di atas, adalah ketika hidup dalam lingkungan yang baik dan mudah, yaitu memiliki istri yang salehah, anak-anak yang berbakti, teman-teman yang baik, dan mata pencaharian mudah. Itulah anugerah terindah yang Allah berikan kepada manusia untuk kebahagiaannya. Istri yang salehah adalah seorang istri yang tidak hanya menjadi pendamping hidup, melainkan ia seorang teman diskusi dan teman yang selalu mengajak kepada kebaikan. Ia mengingatkan ketika lalai, menjadi peneguh ketika gundah, menjadi penerang ketika kegelapan, menjadi penyejuk ketika marah, menjaga kehormatannya, dan selalu taat kepada Allah dan rasul-Nya. Allah menggambarkan wanita salehah dalam firman-Nya: ''.... Sebab itu maka wanita yang saleh, ialah yang taat kepada Allah lagi memelihara diri ketika suaminya tidak ada, oleh karena Allah telah memelihara.'' (QS 4: 34).

Bahkan, Rasulullah menggambarkan istri salehah sebagai perhiasan yang paling baik dan indah mengalahkan indahnya dunia ini. Anak-anak yang berbakti merupakan kekayaan yang tidak ternilai harganya. Mereka merupakan anak-anak yang saleh dan salehah, yang indah dan menyejukkan hati (qurrata a'yun). Mereka pun senantiasa berdoa: ''Wahai Tuhanku, kasihilah mereka keduanya (kedua orangtua), sebagaimana mereka berdua telah mendidik aku waktu kecil.'' (QS 17: 24). Memiliki anak-anak yang berbakti merupakan kebahagiaan dalam sebuah keluarga. Kebahagiaannya tidak hanya dirasakan di dunia, tetapi juga di akhirat. Rasulullah mengajarkan bahwa doa anak yang saleh merupakan amalan yang tidak terputus walaupun orang tuanya sudah meninggal.

Teman yang baik adalah yang menjadi sahabat sejati, baik dalam sedih ataupun suka. Mereka tidak hanya menolong dalam kesusahan, tetapi juga menjadi pengingat ketika kita salah, menjadi pendorong semangat dalam kebaikan dan ketakwaan. Mata pencaharian merupakan sarana kita mencari nafkah. Jika mata pencaharian kita tidak jauh, maka kita tetap bisa berkumpul, menjaga, dan menyayangi keluarga.

Berkumpul dengan keluarga, menurut suatu pendapat umum, merupakan obat lelah setelah sibuk bekerja. Semoga Allah menganugerahi kita istri yang salehah, anak yang berbakti, teman yang baik, dan mata pencaharian yang dekat dan mudah. Semoga Allah terus membimbing dan menjadikan kita hamba-hamba yang bersyukur atas semua anugerah yang diberikan-Nya. Allahumma Amin. (Mulyana)

sumber : republika
Read more...

Anti Korupsi

Imam Malik dalam Al-Muwattha' meriwayatkan bahwa Nabi Muhammad SAW pernah mengirim 'Abdullah ibn Rawahah berangkat ke Khaibar (daerah Yahudi yang tunduk pada kekuasaan Islam) untuk memungut kharaj dari hasil tanaman kurma mereka. Rasulullah SAW telah memutuskan hasil bumi Khaibar dibagi menjadi dua; separo untuk kaum Yahudi sendiri yang mengolahnya dan separonya lagi diserahkan kepada kaum Muslimin.

Ketika 'Abdullah ibn Rawahah menjalankan tugasnya, orang-orang Yahudi mendatangi beliau. Mereka mengumpulkan perhiasan istri-istri mereka dengan niat untuk menyogok. Mereka berkata, ''Ini untukmu dan peringanlah pungutan yang menjadi beban kami. Bagilah kami lebih dari separo.''


'Abdullah ibn Rawahah kemudian menjawab, ''Hai orang-orang Yahudi, dengarkanlah! Bagiku, kalian adalah makhluk yang dimurkai oleh Allah. Aku tidak akan membawa perhiasan itu dengan harapan aku akan meringankan (pungutan) yang menjadi kewajiban kalian. Suap yang akan kalian berikan ini sesungguhnya merupakan suht (harta haram). Sungguh, kami tidak akan memakannya.''

Dalam riwayat lain dikisahkan tentang sikap Umar ibn al-Khathab yang pada saat itu menjadi penguasa negara Islam dalam melaksanakan praktik-praktik kesederhanaan hidup. Umar memakai pakaian bertambal yang sulit membedakannya secara fisik dengan gaya hidup masyarakat umum yang dipimpinnya. Beliau pun pantang menikmati kelezatan makanan jika kebanyakan rakyatnya belum merasakannya. Pada suatu hari, Umar menerima bingkisan makanan dari pembesarnya di daerah. Kepada utusan itu, Umar menanyakan, ''Apa ini?''

''Makanan ini biasa dibikin oleh penduduk Azerbaijan,'' ujar utusan itu, ''dan sengaja dikirim untuk Anda dari 'Atabah ibn Farqad (gubernur Azerbaijan).''

Umar mencicipinya dan rasanya enak sekali. Beliau bertanya lagi kepada utusan tersebut, ''Apakah seluruh kaum Muslim di sana menikmati makanan seperti ini?''

''Tidak, makanan ini hanya untuk golongan tertentu.'' jawab utusan itu.

Umar menutup kembali wadah makanan itu dengan rapi, kemudian bertanya pada utusan, ''Di mana untamu? Bawalah kembali kiriman ini serta sampaikan pesan Umar kepadanya, 'Takutlah kepada Allah dan kenyangkanlah kaum Muslim terlebih dahulu dengan makanan yang biasanya kamu makan',''

Sebagai khalifah, Umar pun dikenal sangat menekankan prinsip kesederhanaan terhadap pejabat bawahannya. Khuzaymah ibn Tsabit berkata, ''Jika Umar mengangkat seorang pejabat, ia akan menuliskan untuknya perjanjian dan akan mensyaratkan kepada pejabat itu untuk: tidak mengendarai kuda (yang pada waktu itu menjadi kendaraan mewah); tidak memakan makanan yang berkualitas tinggi; tidak memakai baju yang lembut dan empuk; dan tidak pula menutup rumahnya bagi orang-orang yang membutuhkan dirinya. Jika itu dilakukan, ia telah bebas dari sanksi.''

Sikap dari kedua pejabat negara yang dikisahkan di atas tentunya menjadi jaminan bahwa memang korupsi tak pernah ada atau paling tidak akan sangat jarang ditemukan ketika Islam telah mewarnai kehidupan kenegaraan. Hal ini lebih diperkuat lagi dengan sistem sanksi Islam untuk para koruptor, seperti yang disebutkan Abdurrahman al-Maliki dalam Nizham al 'Uqubat, yaitu dapat dikenai hukum ta'zir 6 bulan hingga 5 tahun. Apabila jumlah yang dikorupsi dapat membahayakan ekonomi negara, maka koruptor tersebut dapat dijatuhi hukuman mati. (Ihsanul Muttaqin)

sumber : Republika
Read more...

Antara Pemimpin dan Penguasa

Tidak ada kata presiden atau pemilu dalam Alquran. Tetapi, pasti, bukan berarti Alquran tidak mengaturnya. Dalam konteks politik kita, misalnya, kata presiden dalam Alquran disebut dengan dua kata yang artinya sama, tapi secara substansial maknanya berbeda. Dua kata itu adalah khalifah dan imam. Dalam bahasa Indonesia, arti kedua kata itu sama: pemimpin atau penguasa. Tetapi secara substansial, maknanya berbeda. Kata khalifah berakar dari kata khalafa. Artinya, menunjuk pada seseorang yang berada 'di belakang'. Itulah sebabnya mengapa khalifah dimaknai sebagai seseorang yang menggantikan tokoh yang ada 'di depan' (pendahulunya).


Sedangkan kata imam adalah orang yang ada 'di depan.' Kata ini sering dimaknai sebagai tokoh teladan: terdepan dalam segala laku kebaikan, santun, terpuji, bermoral tinggi, bijaksana, rendah hati, dan paling utama dalam iman dan takwa. Kata khalifah masih dibagi lagi dalam bentuk tunggal dan jamak. Dalam bentuk tunggal, misalnya, dapat ditemukan dalam al-Baqarah ayat 30: ''Ingatlah ketika Tuhanmu berfirman kepada para malaikat, 'Sesungguhnya Aku hendak menjadikan seorang khalifah di muka bumi'.'' Dalam bentuk jamak, khalaif, disebut empat kali dalam Alquran, dan khulafa disebut tiga kali. Kata imam dalam Alquran disebut tujuh kali, dan istimewanya, makna dan konteksnya tidak sama. Tulisan ini merujuk pada imam sebagai tokoh keagungan, tokoh segala tokoh yang dijadikan suri teladan bagi keturunannya dan seluruh umat manusia, yaitu Nabi Ibrahim.

''Sesungguhnya Aku akan menjadikanmu (Ibrahim) imam bagi seluruh manusia.'' (QS 2: 124). Ibrahim menjadi pemimpin (imam) langsung dari Allah, bukan melalui proses musyawarah (demokrasi atau pemilu). Begitu pula Nabi Muhammad SAW, yang seperti halnya Ibrahim, sebenarnya bisa memainkan peran penguasa dengan kekuasaan luar biasa besar, tapi lebih memilih menjadi 'pemimpin' saja. Dalam konteks politik, secara sederhana, pemimpin itu bisa presiden dan penguasa biasanya adalah raja. Namun, tak sedikit presiden yang memainkan peran sebagai penguasa. Bahkan, penguasa tunggal yang kekuasaannya tak bisa dikontrol oleh rakyat. Pemimpin dan penguasa itu dua jabatan, dua tipe, dua amanat yang sering bertolak belakang.

Menurut tafsiran sederhana Emha Ainun Nadjib, penguasa mengelola kekuasaan dirinya atas banyak orang, sedangkan pemimpin mengelola cinta dan sistem penyejahteraan. Namun secara umum, KH Azhar Basyir dan Prof Dr Quraish Shihab menyimpulkan: Alquran menyebut pemimpin (khalifah) adalah, ''Orang-orang yang jika Kami teguhkan kedudukan mereka di muka bumi ini, niscaya mereka mendirikan shalat dan menunaikan zakat, menyuruh berbuat yang ma'ruf (baik) dan mencegah perbuatan yang munkar.'' (Al-Hajj: 41). Makna sepotong ayat itu luas sekali, menyangkut kewajiban menjalin hubungan kepada Allah, dengan masyarakat, alam semesta, berbuat baik, mencegah keburukan -- baik menurut agama, sosial, politik, maupun budaya. Benar, pemimpin seperti inilah yang seharusnya kita pilih untuk memimpin negara dan bangsa ini. (EH Kartanegara)

sumber : republika
Read more...

Antara Menangis dan Tertawa

Pada suatu ketika di Hari Raya Idul Fitri, sufi Ibn al-Wardi bertemu dengan sekelompok orang yang sedang tertawa terbahak-bahak. Melihat pemandangan itu, Ibn al-Wardi menggerutu sendiri. Katanya, ''Kalau mereka memperoleh pengampunan, apakah dengan cara itu mereka bersyukur kepada Allah, dan kalau mereka tidak memperoleh pengampunan, apakah mereka tidak takut azab dan siksa Allah?''

Kritik Ibn al-Wardi ini memperlihatkan sikap kebanyakan kaum sufi. Pada umumnya mereka tidak suka bersenang-senang dan tertawa ria. Mereka lebih suka menangis dan tepekur mengingat Allah. Bagi kaum sufi, tertawa ria merupakan perbuatan tercela yang harus dijauhi, karena perbuatan tersebut dianggap dapat menimbulkan ghaflah, yaitu lalai dari mengingat Allah.


Akibat buruk yang lain, tertawa ria dapat membuat hati menjadi mati, yang membuat seseorang tidak dapat mengenal Allah (Al-Zumar: 22), tidak dapat menerima petunjuk (Al-Baqarah: 7), dan mudah disesatkan oleh setan (Hajj: 53). Pada waktu Perang Tabuk, orang-orang munafik berpaling dan menolak berperang bersama Nabi. Mereka justru bersenang-senang dan tertawa ria di belakang beliau. Tentu saja mereka dikecam oleh Allah dan diancam hukuman berat. Firman-Nya, ''Katakanlah: Api neraka itu lebih sangat panasnya jikalau mereka mengetahui.

Maka hendaklah mereka tertawa sedikit dan menangis banyak, sebagai pembalasan dari apa yang selalu mereka kerjakan.'' (Al-Taubah: 81-82). Ayat di atas, menurut pakar tafsir al-Razi, datang dalam bentuk perintah (al-amr), tetapi mengandung makna berita (al-khabar). Dalam perspektif ini, ayat tersebut bermakna bahwa kegembiraan dan suka cita orang-orang munafik itu sesungguhnya sebentar, tidak lama, lantaran kenikmatan dunia tidak kekal alias terbatas.

Sedangkan duka dan penderitaan mereka di akhirat justru berlangsung lama dan terus-menerus, lantaran azab dan siksa Tuhan di akhirat kekal abadi alias selama-lamanya. Ini berarti, setiap orang dihadapkan pada dua pilihan yang bersifat antagonistik, yaitu tertawa ria di dunia, tetapi menangis di akhirat, atau menangis di dunia, tetapi riang gembira dan tersenyum di akhirat. Dalam hadis sahih, Nabi pernah berpesan agar kaum Muslim lebih banyak menangis daripada tertawa ria. Katanya, ''Jikalau kalian mengetahui apa yang kuketahui, pastilah kalian sedikit tertawa dan banyak menangis.'' (HR Bukhari-Muslim). Di akhirat, berbeda dengan di dunia, manusia akan terbagi menjadi dua golongan saja.

Pertama, golongan yang bersuka cita dan tertawa ria. Mereka itulah para penghuni surga. Kedua, golongan orang yang menderita dan bermuram durja. Mereka itulah para penghuni neraka. Allah berfirman: ''Banyak muka pada hari itu berseri-seri, tertawa dan gembira ria, dan banyak pula muka pada hari itu tertutup debu dan ditutup pula oleh kegelapan. Mereka itulah orang-orang kafir lagi durhaka.'' ('Abasa: 38-42). Semoga kita termasuk golongan orang yang dapat tertawa ria di akhirat kelak. Amin. (A Ilyas Ismail)

sumber : Republika
Read more...

Antara Hak dan Batil

Pada waktu penaklukan Makkah (Fath Makkah), Nabi Muhammad SAW dan kaum Muslimin membersihkan Ka'bah (Baitullah) dari patung dan berhala, sesembahan kafir Quraisy. Ketika itu, di sekitar Ka'bah terdapat tidak kurang dari 360 berhala besar dan kecil. Nabi SAW memukul-mukul berhala-berhala itu sambil membaca ayat ini, ''Yang benar telah datang dan yang batil telah lenyap. Sesungguhnya yang batil itu pasti lenyap.'' (Al-Isra: 81).

Dalam Alquran, perkataan al-haqq (yang benar) pada hakikatnya menunjuk kepada Allah sebagai sumber kebenaran. Di sini, Tuhan dan segala bentuk derivatifnya dinamai al-haqq. Agama sebagai wahyu atau ajaran Allah dinamai al-haqq (Al-Baqarah: 147). Begitu pula nabi sebagai utusan Allah (Ali Imran: 81), alam semesta sebagai ciptaan Allah (Al-An'am: 73), dan semua perhatian dan ketetapan Allah (Yunus: 23), semuanya dinamakan al-haqq. Kebenaran sebagai sesuatu yang datang dan berasal dari Allah bersifat jelas dan terang (Al-Baqarah: 236), sesuai kecenderungan dasar atau fitrah manusia (Al-Rum: 30), dan kuat (Al-Anbiya: 18). Di samping itu, kebenaran itu merupakan sesuatu yang berguna bagi umat manusia.


Kebenaran diibaratkan seperti air, logam, dan api, sedangkan kebatilan diumpamakan seperti buih, merupakan sesuatu yang hina dan tak berguna. Perhatikan ayat ini, ''Demikianlah Allah membuat perumpamaan bagi yang benar dan yang batil. Adapun buih itu akan hilang, sebagai sesuatu yang tidak ada harganya, adapun yang memberikan manfaat kepada manusia, maka ia tetap di bumi. Demikianlah Allah memberikan perumpamaan-perumpamaan.'' (Al-Ra'd: 17-18). Lain kebenaran lain pula dengan kebatilan. Kebatilan adalah lawan dari kebenaran (naqidh al-haqq), merupakan sesuatu yang tidak berdasar sama sekali (mala tsabatalah).

Setiap perkataan dan perbuatan yang tidak memiliki dasar hukum, maka ia dinamakan kebatilan. Orang Arab menyebut orang yang berani tanpa pertimbangan alias orang yang nekat dan konyol dengan sebutan bathal. Disebut demikian, karena orang tersebut pada hakikatnya telah menghilangkan nyawanya secara sia-sia, tanpa makna. Berbeda dengan kebenaran, kebatilan justru sangat rapuh (Al-Anfal: 8), tidak dapat bertahan lama (Al-Anbiya: 18), dan tidak memberi manfaat apa pun bagi manusia (Al-Ra'd: 18). Kebenaran dan kebatilan itu tidak dapat bersatu dan tidak mungkin dipersatukan. Keduanya, hak dan batil, dapat diibaratkan seperti air dan minyak. Sayyid Quthub mengumpamakan keduanya seperti langit dan bumi.

Di antara keduanya terdapat jurang pemisah yang terlalu lebar yang tidak mungkin dibangun jembatan yang dapat menghubungkan keduanya. Perbedaan antara hak dan batil sangat jelas, namun karena fitrah telah rusak dan lingkungan begitu buruk, maka yang hak bisa dipandang batil dan yang batil dianggap hak. Selain menyuruh berjuang, Nabi SAW mengajarkan kaum Muslim doa ini, ''Ya Allah, perlihatkan kepada kami yang hak sebagai hak, dan berilah kami kekuatan untuk mengikutinya. Perlihatkanlah kepada kami yang batil sebagai batil, dan berilah kami kekuatan menjauhinya (melawannya).'' Semoga kita terus berada dalam kebenaran. (A Ilyas Ismail)

sumber : republika
Read more...

Antara Amanah dan Khianat

Kata amanah seakar dengan kata iman. Ini berarti sikap amanah mempunyai korelasi erat dengan iman seseorang. Orang beriman pasti memiliki sifat amanah. Orang yang tidak amanah berarti tidak ada iman dalam dirinya, meskipun lidahnya menyatakan beriman. Allah berfirman, ''Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengkhianati Allah dan Rasul (Muhammad), dan (juga) janganlah kamu mengkhianati amanat-amanat yang dipercayakan kepadamu, sedangkan kamu mengetahui.'' (QS 8: 27).

Sikap amanah harus diwujudkan dalam semua aspek kehidupan. Orang yang memegang amanah dituntut menjalankan dan menyampaikan kepada yang berhak menerimanya. Firman-Nya, ''Sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyampaikan amanat kepada yang berhak menerimanya, dan (menyuruh kamu) apabila menetapkan hukum di antara manusia supaya kamu menetapkan dengan adil ....'' (QS 4: 58)


Memiliki sikap amanah penting dalam kegiatan muamalah. Sikap amanah yang dimiliki seseorang dapat dijadikan tolok ukur mengangkatnya menjalankan tugas tertentu. Sebaliknya, suatu urusan yang diserahkan kepada orang yang tidak amanah, maka urusan itu akan berantakan. Sebab, orang yang tidak amanah berarti ia tidak profesional menjalankan tugasnya.

Rasulullah SAW menjelaskan, ''Apabila amanah telah disia-siakan, tunggulah saat kehancurannya.'' Seorang sahabat bertanya, ''Ya Rasulullah, bagaimana maksud menyia-nyiakan amanah itu?'' Nabi menjawab, ''Yaitu menyerahkan suatu urusan ditangani oleh orang yang bukan ahlinya. Untuk itu tunggulah saat kehancuran urusan tersebut.'' (HR Bukhari).

Khianat merupakan lawan dari amanah. Sikap ini melekat pada orang yang kurang beriman. Sikap khianat merupakan ciri orang munafik yang diekspresikan dengan menyalahi janji dan apa yang telah dipercayakan kepadanya. Orang demikian digelari sebagai makhluk terburuk yang sangat dibenci Allah.

Allah berfirman, ''Sesungguhnya binatang (makhluk) yang paling buruk di sisi Allah ialah orang-orang yang kafir, karena mereka itu tidak beriman. (Yaitu) orang-orang yang kamu telah mengambil perjanjian dari mereka, sesudah itu mereka mengkhianati janjinya pada setiap kalinya, dan mereka tidak takut (akibat-akibatnya).'' (QS 8: 55-56).

Sikap khianat amat berbahaya bila berkembang dalam kehidupan suatu masyarakat. Sikap ini merugikan orang yang dikhianati dan pelakunya.

Apabila sikap khianat melekat pada seseorang, berarti saat itu telah lepas darinya sikap amanah. Sebab, antara amanah dan khianat tidak mungkin berkumpul pada saat bersamaan. Nabi bersabda, ''Tidak mungkin berkumpul iman dan kafir dalam hati seseorang, dan tidak mungkin pula berkumpul sifat jujur dan dusta padanya sekaligus, sebagaimana tidak mungkin berkumpul sifat khianat dan amanah padanya secara bersamaan.'' (HR Ahmad).

Sikap amanah harus dimiliki setiap individu, terutama para pemimpin. Dengan sikap amanah diharapkan tugas-tugas yang diberikan kepada mereka dapat dijalankan dengan baik dan membawa kejayaan bangsa. Sebaliknya, apabila sikap khianat menjadi budaya, maka bangsa ini akan semakin terpuruk. (Firdaus MA)

sumber : republika
Read more...

Ancaman Pornografi

Pornografi dapat diidentifikasi sebagai penyakit sosial yang amat berbahaya. Dalam bahasa agama, pornografi dapat disebut sebagai biang kejahatan (umm al-khaba'its). Dikatakan demikian, karena pornografi dapat menimbulkan keburukan-keburukan lain dalam masyarakat. Pornografi dapat melemahkan ikatan-ikatan moral, serta mendorong timbulnya pola kehidupan baru yang cenderung permisif dan hedonistik.

Ancaman pornografi kini kian meningkat, tidak saja pornografi, tetapi juga pornoaksi. Pada yang pertama, kategori porno berbentuk foto atau gambar (grafis), sedangkan pada yang kedua (pornoaksi) berbentuk perbuatan atau perilaku. Tentu, yang kedua ini lebih mengancam, karena sifatnya yang langsung (live), konkret (externalized), dan menantang (interested).


Dalam bahasa Alquran, pornografi atau pornoaksi itu disebut tabarruj. Menurut para pakar tafsir, tabarruj berarti mempertontonkan segi-segi keindahan wanita (idzhar-u mahasin-i al-mar'at-i), atau memamerkan sesuatu yang menurut kelayakan harus ditutup (idzhar-u ma yajib-u ikhfa'uh-u). Firman Allah, "Dan hendaklah kamu jangan berhias dan bertingkah laku seperti orang-orang jahiliyah yang dahulu." (QS al-Ahzab: 32).

Tabarruj seperti tersebut dalam ayat di atas menunjuk pada kebiasaan wanita zaman jahiliyah. Mereka biasa berdandan secara berlebihan dengan memperlihatkan perhiasan dan segi-segi keindahan tubuh mereka. Ini dilakukan justru ketika mereka hendak keluar rumah.

Kebiasaan mereka dalam hal ini kelihatannya tidak berbeda dengan wanita masa kini. Ini berarti, kebiasaan wanita pada zaman jahiliyah dulu (jahiliyyat al-ula) telah muncul kembali pada zaman jahiliyah modern sekarang (jahiliyyat al warn al'isyrin).

Wanita-wanita beriman diperintahkan agar meninggalkan kebiasaan jahiliyah. Mereka diminta agar lebih menjaga diri, dengan mengendalikan pandangan, menutup aurat, mengenakan kerudung atau jilbab, dan sama sekali tidak dibenarkan melakukan tabarruj (QS al-Nur: 31). Dalam suatu hadis, Rasulullah SAW melarang wanita dewasa membuka aurat. Dikatakan, aurat wanita adalah seluruh badannya, kecuali dua hal sebagai pengecualian, yaitu wajah dan telapak tangan (HR Abu Daud).

Dalam riwayat lain disebutkan, ketika diturunkan ayat 31 surat al-Nur di atas, wanita-wanita Muslimah serentak menutup kepala dan leher mereka. Bahkan, ada di antara mereka yang merobek kain sarung mereka sebagai kerudung atau jilbab.

Jadi, perintah agar wanita Muslimah menutup aurat, menjaga kesopanan, dan kepantasan dengan berkerudung atau berjilbab, bukanlah masalah khilafiyah, tetapi ajaran Islam yang sebenar-benarnya berdasarkan Alquran dan As-Sunah.

Setiap Muslim, setingkat dengan kemampuan yang dimiliki, harus berusaha melawan pornografi dan pornoaksi. Usaha ini dirasakan makin penting dilakukan di tengah-tengah ancaman pornografi dan pornoaksi yang semakin menggila dewasa ini.

sumber : Republika
Read more...

Amar Ma'ruf Nahi Munkar

Rasulullah Saw bersabda, "Bersungguh-sungguhlah kalian dalam menyeru yang makruf, bersungguh-sungguh pulalah kalian dalam mencegah yang munkar. Jika tidak, maka Allah akan memberikan kekuasaan kepada orang-orang buruk di antara kalian, dan doa orang-orang baik di antara kalian (tetapi diam terhadap kemunkaran) tidak akan dikabulkan oleh Allah," (HR Imam Bazzar).

Hadis di atas menjelaskan kepada kita akan kewajiban setiap Muslim untuk senantiasa melakukan aktivitas dakwah Islamiyah. Kita diperintahkan oleh Rasulullah Saw untuk senantiasa menegakkan kebenaran di manapun kita berada, dan dalam posisi apa pun. Seorang hakim yang baik, pastilah ia akan berusaha melandaskan keputusannya pada prinsip-prinsip keadilan dan kebenaran.

Tidak mungkin ia akan melakukan berbagai upaya penyelewengan hukum. Ia akan bersikap tegas dan jujur, walaupun kasus yang sedang ditanganinya melibatkan kaum elite dan para pemimpin. Seorang politisi yang jujur, pastilah ia akan mengatakan kebenaran yang hakiki tanpa harus melakukan kebohongan publik.


Ia tidak akan memiliki keberanian untuk mempermainkan kepentingan rakyat demi memuaskan keinginan pribadinya. Begitu pula halnya dengan berbagai pekerjaan lainnya, seorang Muslim harus memiliki komitmen yang kuat untuk menegakkan amar makruf dan nahi munkar. Ia tidak boleh berdiam diri manakala melihat berbagai bentuk kezaliman dan kemunkaran.

Bila umat Islam tidak melakukan kegiatan amar makruf nahi munkar, maka Allah akan menimpakan dua akibat. Pertama, Allah akan memberikan kekuasaan kepada orang-orang buruk di antara komponen suatu masyarakat dan bangsa. Seluruh aspek kehidupan akan dikendalikan dan diarahkan oleh orang-orang yang tidak bermoral, baik itu aspek politik, ekonomi, hukum, sosial, budaya, pertahanan keamanan, maupun aspek-aspek kehidupan lainnya. Yang akan terjadi adalah berbagai kehancuran dan kerusakan. Azab akan turun silih berganti.

Kedua, Allah tidak akan mengabulkan doa orang-orang baik di antara mereka, tetapi orang-orang baik tersebut diam dan tidak berbuat sesuatu untuk mencegah terjadinya kemaksiatan. Untuk itulah umat Islam harus senantiasa melakukan proses koreksi dan introspeksi secara terus-menerus. Bukan tidak mungkin, keterpurukan bangsa ini disebabkan oleh kelalaian umat Islam dalam beramar makruf dan nahi munkar. (Irfan Syauqi Beik)

sumber : Republika
Read more...

Amanah

Sesungguhnya Kami telah mengemukakan amanah kepada langit, bumi dan gunung-gunung, maka semuanya enggan memikul amanah itu dan mereka khawatir akan mengkhianatinya, dan dipikullah amanah itu oleh manusia. Sesungguhnya manusia itu amat zalim dan amat bodoh. (QS. Al-Ahzab : 72).

Kepercayaan memegang peranan amat penting dalam pelbagai aspek kehidupan. Manusia sendiri sejak awal sudah diberikan kepercayaan oleh Allah SWT untuk menjadi khalifah di muka bumi. Misi kepercayaan ini yang diemban manusia itu tak lain memakmurkan dan memelihara perdamaian.

Namun demikian, memelihara kepercayaan itu tidaklah mudah. Bahkan sebagaimana dijelaskan pada ayat di atas, memelihara amanah itu sangat berta. Karenanya banyak orang yang tidak kuat, akhirnya ia khianat atau ingkar terhadap amanah itu. Allah sendiri sebenarnya sudah mengetahu bahwa sebagian orang sering ingkar terhadap amanah itu.

Dalam kitab Tafsir Ibnu Katsir dijelaskan tentang pengertian amanah dalam ayat itu, yaitu menjalankan tugas-tugas keagamaan. Dan tugas-tugas keagamaan ini menyangkut seluruh aspek kehidupan.


Amanah sebenarnya adalah suatu kepercayaan yang ditanggung oleh seseorang untuk mewujudkan kepercayaan atau membuktikan dalam kenyataan dan prilakunya. Sehingga kalau manusia bisa bersikap dan berperilaku amanah, maka dunia ini akan aman dan damai. Tetapi, karena manusia sering zalim atau mencederai amanah atau kepercayaan yang dipegangnya sendiri, maka dunia ini sering kacau gara-gara yang bersangkutan tidak amanah.

Karena itu, jika seorang pemimpin sudah tidak bisa bersikap amanah, maka sebetulnya yang bersangkutan dan yang dipimpinnya tinggal menunggu kehancuran. Karena sekuat manusia menutup ketidakjujurannya, suatu saat akan ketahuan juga. Sekalil ia diketahui bahwa ia tidak bisa dipercaya, maka orang tersebut sulit untuk mendapat kepercayaan lagi.

Biasanya, Allah menguji amanah kepada hamba-Nya itu pada tiga persoalan. Pertama soal tahta atau jabatan, kedua soal wanita dan ketiga pada harta. Sumber kerusakan di muka bumi ini juga sering berawal dari tiga persoalan ini.

Seoarng penguasa atau pemimpin, kalau tidak amanah dengan jabatannya, barang kali ia juga tidak amanah pada yang lain. Misalnya, meski punya istri ia suka dia-diam berbuat serong dengan wanita lain. Karena serong, ia mungkin juga tidak beres dlam mengelola keuangan.

Sehingga dapat disimpulak, jika seseorang tak bisa dipercaya untuk satu urusan, ada kemungkinan ia telah melakukan khianat atau dusta secara akumulatif pada aspek kehidupan lainnya. (Zis Muzahid Hasan)

sumber : Republika
Read more...

Amal Duniawi

Pada suatu hari, Rasulullah SAW menjenguk Fatimah yang sedang menggiling tepung dengan alat penggiling. Nabi heran, karena Fatimah tampak menangis. Mengapa? Putri Rasulullah ini mengaku air matanya meleleh karena kesibukannya yang terus silih berganti tiada henti. Kepada ayahnya, Fatimah mengungkapkan keinginannya untuk memiliki budak yang bisa membantu semua pekerjaannya di rumah.

Nabi pun mendekati tempat penggilingan. Beliau lalu menghibur putrinya, ''... Allah berkehendak mencatat kebaikan, menghapus keburukan, dan mengangkat derajatmu jika engkau menunaikan tugas-tugas keseharianmu sebagai seorang istri dengan baik.''

Rasulullah kemudian bersabda bahwa seorang wanita yang dapat berperan sebagai istri yang baik bagi suaminya, serta sebagai ibu yang baik bagi anak-anaknya, maka Allah memberinya derajat yang sangat mulia.

Dalam kesempatan lain beliau juga menjelaskan, jika seorang ibu meminyaki sendiri rambut anak-anaknya, menyisirinya, mencuci baju-baju mereka sendiri, maka pahala yang ia peroleh laksana amal memberi makan seribu orang yang lapar dan memberi pakaian seribu orang yang telanjang (tak mempunyai pakaian).


Kisah dan hadis di atas memberi pemahaman yang dalam kepada kita, bahwa hendaknya kita tidak membuat dikotomi atas amal kita antara yang "duniawi" dan "ukhrawi", sehingga kemudian kita mengunggulkan yang satu dan meremehkan yang lain.

Sebab, tidak jarang, apa yang kita anggap remeh ternyata sebenarnya mengandung kemuliaan yang sangat tinggi. Kita seringkali, mungkin, berpikiran bahwa amal-amal yang mulia yang "ukhrawi", yakni yang kental nuansa ritual-sakralnya, misalnya jihad fi sabilillah, haji, shalat nafilah, zikir, dan tadarus.

Kesibukan sehari-hari, misalnya, kerja di kantor, di pabrik, di toko, di jalan-jalan, demi menafkahi keluarga di rumah, atau kesibukan di dalam rumah semisal mengurus rumah dan mengasuh anak, yakni amal-amal profan, "duniawi", kita anggap remeh-temeh, biasa-biasa saja, bukan amal yang utama nan mulia.

Padahal, merujuk pada kisah dan sabda Rasul di atas, jelas sekali bahwa pemahaman seperti itu keliru. Dalam sudut pandang dan skala tertentu, amal-amal profan, "amal-amal duniawi" justru sangat tinggi nilainya di hadapan Allah, selama dilakukan dengan cara dan niat yang baik, sesuai tuntunan yang disunahkan Rasul.

Suatu kali, ketika Rasul sedang berkumpul dengan sahabat-sahabatnya, ada seorang pemuda yang kekar dan perkasa lewat. Para sahabat berkata, "Ah, andaikan kekekaran dan keperkasaannya digunakan untuk berjihad di medan perang sabilillah, betapa bagusnya."
Tapi, apa komentar Rasulullah?

Beliau sama sekali tidak sepakat dengan cara pandang parsial seperti itu. "Andaikan ia masih punya orang tua di rumah, ia lebih baik menggunakan kekuatannya untuk mengurus orang tuanya daripada berjihad. Atau, jika dengan keperkasaannya itu ia bekerja mencari nafkah buat dirinya sendiri agar tidak bergantung pada orang lain, itu jauh lebih baik daripada jihad." (Sabrur R Soenardi)

sumber : Republika
Read more...

Akhlak Manusia

Dalam surat An-Nisaa ayat 36 Allah SWT berfirman, ''Sembahlah Allah dan janganlah kamu mempersekutukan-Nya dengan sesuatu pun. Dan berbuat baiklah kepada ibu-bapak, karib-kerabat, anak-anak yatim, orang-orang miskin, tetangga yang dekat dan tetangga yang jauh, dan teman sejawat, ibnu sabil, dan hamba sahayamu. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang sombong dan membangga-banggakan diri.'' (QS 4:36).

Ayat di atas secara rinci menjelaskan tentang dua akhlak yang harus dimiliki manusia.

Pertama, akhlak kepada Allah, yaitu untuk beriman dan bertakwa kepada Allah dengan melaksanakan semua perintah-Nya dan menjauhi segala apa yang dilarang-Nya, serta memurnikan keimanannya dengan jalan tidak menyekutukan-Nya dengan sesuatu apa pun. Mengenai mempersekutukan Allah (syirik), Allah menegaskan masalah ini dalam firman-Nya, ''Sesungguhnya Allah tidak akan mengampuni dosa syirik, dan Dia mengampuni segala dosa yang selain dari itu, bagi siapa yang dikehendaki-Nya. Barang siapa yang mempersekutukan Allah, maka sungguh ia telah berbuat dosa yang besar.'' (QS 4:48).


Kedua, akhlak kepada sesama manusia, yaitu untuk selalu berbuat baik (ihsan).

Berbuat baik, sebagaimana dijelaskan pada ayat di atas, tidak memiliki batasan. Artinya, nilai-nilai ihsan merupakan nilai-nilai yang universal yang tidak terfragmentasikan oleh batasan apa pun, bahkan agama atau musuh sekalipun. Perhatikan firman Allah SWT, ''Allah tidak melarang kamu untuk berbuat baik dan berlaku adil terhadap orang-orang yang tiada memerangimu karena agama dan tidak mengusir kamu dari negerimu. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berlaku adil.'' (QS 60:8).

Rasulullah pun telah mencontohkan perbuatan baik yang patut untuk diteladani oleh setiap manusia. Dalam suatu hadis beliau menjelaskan, ''Janganlah kamu saling membenci dan janganlah kamu saling mendengki, dan janganlah kamu saling menjatuhkan. Dan, hendaklah kamu menjadi hamba Allah yang bersaudara dan tidak boleh seorang Muslim mendiamkan saudaranya lebih dari tiga hari.'' (HR Anas).

Berbuat baik kepada sesama, pada hakikatnya, merupakan wujud dari rasa kasih sayang dan buah dari keimanan yang benar. Tanpa ada dua hal tersebut, maka kebaikan yang tercipta biasanya merupakan kebaikan semu. Firman Allah SWT, ''Tidakkah kamu perhatikan bagaimana Allah telah membuat perumpamaan kalimat yang baik seperti pohon yang baik, akarnya teguh dan cabangnya ke langit. Pohon itu memberikan buahnya pada setiap musim dengan seizin Tuhannya. Allah membuat perumpamaan-perumpamaan itu untuk manusia supaya mereka selalu ingat. Dan perumpamaan kalimat yang buruk seperti pohon yang buruk, yang telah dicabut dengan akar-akarnya dari permukaan bumi; tidak dapat tetap sedikit pun.'' (QS 14:24-26).

Karenanya, mari kita pupuk keimanan dengan benar agar dapat menciptakan dan menghasilkan buah kebaikan yang dapat dirasakan oleh siapa pun. Ingatlah, pesan Rasulullah SAW bahwa 'sesungguhnya manusia yang terbaik adalah yang paling bermanfaat bagi yang lainnya'. Wallahu a'lam bis-shawab. (Mulyana)

sumber : republika
Read more...

Ajaran Berderma

Suatu saat Dzun Nun al-Mishri melakukan perenungan di hutan, diiringi seorang murid setianya. Mereka mendapati seekor burung yang tiada daya untuk terbang, karena sayapnya patah. Burung itu hanya bisa menggelepar-gelepar di tanah. Selang beberapa saat kemudian, datang burung yang lain membawakan makanan baginya. Burung yang patah sayapnya pun, tanpa perlu repot-repot mencari makanan, dapat makan kenyang berkat jasa kawannya.

Menyaksikan kejadian langka itu, si murid termenung dan berpikir keras untuk menggali pelajaran yang dapat dipetik. ''Ternyata, tanpa harus berusaha mencari makanan sekalipun, kita dapat bertahan hidup berkat jasa orang lain. Alangkah rahmatnya Allah SWT kepada setiap makhluknya,'' simpulnya.

Sebagai seorang waliyullah, Dzun Nun al-Mishri bisa merasakan apa yang direnungkan oleh muridnya. Dia pun berkata padanya, ''Seharusnya kamu tidak berpikir menjadi burung yang patah sayap itu. Tapi, berpikirlah menjadi burung yang memberi makan, yang dapat menolong saudaranya.''


Ucapan Dzun Nun al-Mishri ini mengingatkan kita pada sabda Nabi SAW, ''Al-yadd al-ulya khair min al-yadd al-sufla.'' (HR al-Bukhari dan Muslim). Dalam riwayat Muslim ditambahkan, yang dimaksud al-yadd al-ulya adalah al-munfiqah (pemberi sedekah) dan al-yadd al-sufla adalah al-sailah (peminta atau penerima).

Itulah ajaran Islam. Islam mengajarkan pemeluknya untuk menjadi penderma dan penolong bagi yang membutuhkan. Ini tecermin misalnya dari ajaran zakat (al-Baqarah: 43, 83, dan 110; al-Ahzab: 33; al-Mujadilah: 13; dan lain-lain). Malah, zakat dijajarkan sebagai pilar rukun Islam. Ini menunjukkan, menolong orang yang membutuhkan, mendapat perhatian besar dalam ajaran Islam.

Menariknya lagi, seperti janji Allah SWT dalam QS Saba' ayat 39, kendati kita banyak bederma, itu tidak akan mengurangi harta kita. Allah SWT akan mengganti dan malah menambahnya. Allah SWT berfirman, ''Katakanlah: 'Sesungguhnya Tuhanku melapangkan rezeki bagi siapa yang dikehendaki-Nya di antara hamba-hamba-Nya dan menyempitkan bagi (siapa yang dikehendaki-Nya)'. Dan barang apa saja yang kamu nafkahkan, maka Allah akan menggantinya dan Dia-lah pemberi rezeki yang sebaik-baiknya.''

Tapi, di sisi lain, Allah SWT juga menantang kita untuk mendermakan barang-barang yang paling kita cintai. Allah SWT berfirman, ''Kamu sekali-kali tidak sampai kepada kebajikan (yang sempurna), sebelum kamu menafkahkan sebagian harta yang kamu cintai. Dan apa saja yang kamu nafkahkan, maka sesungguhnya Allah mengetahuinya.'' (Ali Imran ayat 92).

Ini tantangan yang berat bagi kita. Karena, mendermakan barang yang kita cintai, membutuhkan kesadaran beragama yang baik dan pengorbanan yang tulus. Itulah tantangan dan ujian bagi orang beriman. Tinggal kita yang harus membuktikan bahwa kita termasuk orang yang berhak meraih gelar al-birr, melalui berbagai derma. Wallah a'lam. (Nurul Huda Maarif)

sumber : Republika
Read more...

Agama yang Diridhoi

Allah SWT berfirman: ''Dialah yang mengutus rasul-Nya dengan membawa petunjuk dan agama yang benar agar Dia memenangkannya di atas segala agama-agama meskipun orang-orang musyrik benci.'' (QS. 61: 9). Dari firman tersebut kita dapat menyimpulkan agama terbagi dalam dua bagian, yaitu agama yang berasal dari Allah, agama yang diridhoi yaitu Islam dan agama selain Islam atau dalam ayat itu disebut sebagai ad-diinu kullih. Ayat itu juga menegaskan Islam merupakan agama yang benar.

Bukti bahwa Islam sebagai satu-satunya agama yang diridhoi Allah, dapat pula diperhatikan pada wahyu terakhir yang diterima oleh Rasulullah SAW tatkala beliau sedang melaksanakan haji wada' yang berbunyi: ''Pada hari ini telah Kusempurnakan untuk kamu agamamu dan telah Kucukupkan kepadamu nikmat-Ku, dan telah Kuridhoi Islam itu jadi agamamu (QS 5: 3).

Dalam ayat lain Allah SWT menegaskan: ''Sesungguhnya agama (yang diridhoi) di sisi Allah hanyalah Islam. Tiada berselisih orang-orang yang telah diberi al-Kitab kecuali sesudah datang pengetahuan kepada mereka, karena kedengkian (yang ada) di antara mereka. Barangsiapa yang kafir terhadap ayat-ayat Allah sesungguhnya Allah sangat cepat hisab-Nya.'' (QS 3: 19).


Ayat lainnya dalam surat Ali Imran, Allah berfirman: ''Barangsiapa mencari agama selain dari agama Islam, maka sekali-kali tidaklah akan diterima (agama itu) daripadanya, dan dia di akhirat termasuk orang-orang yang rugi.'' (QS 3: 85).

Ayat-ayat di atas jelas menunjukkan Islam merupakan satu-satunya agama yang diridhoi dan benar. Islam merupakan agama yang sesuai dengan fitrah manusia dan Islam berbeda dengan agama-agama lainnya. Islam merupakan agama yang langsung Allah turunkan melalui rasul-rasul-Nya terdahulu hingga Nabi Muhammad SAW.

Allah berfirman: ''Dia telah mensyariatkan bagi kamu tentang agama apa yang telah diwasiatkan-Nya kepada Nuh dan apa yang telah Kami wahyukan kepadamu dan apa yang telah Kami wasiatkan kepada Ibrahim, Musa dan Isa yaitu: Tegakkanlah agama dan janganlah kamu berpecah belah tentangnya. Amat berat bagi orang-orang musyrik agama yang kamu seru mereka kepadanya. Allah menarik kepada agama itu orang yang dikehendaki-Nya dan memberi petunjuk kepada-Nya (agama) orang yang kembali (kepada-Nya).'' (QS 42: 13).

Dalam ayat lainnya Allah menjelaskan: ''Sesungguhnya Kami telah memberikan wahyu kepadamu sebagaimana Kami telah memberikan wahyu kepada Nuh dan nabi-nabi yang kemudiannya, dan Kami telah memberikan wahyu kepada Ibrahim, Ismail, Ishak, Yaqub, dan anak cucunya, Isa, Ayub, Yunus, Harun, dan Sulaiman. Dan Kami berikan Zabur kepada Daud.'' (QS 4: 163).

Dalam praktik kehidupan agama saat ini, upaya pendangkalan dan penggembosan terhadap akidah umat Islam telah marak dilakukan, seperti dengan beredarnya paham semua agama sama, pernikahan beda agama, dan seterusnya. Karenanya, peningkatan akidah, keimanan, dan keyakinan umat Islam terhadap agamanya menjadi keharusan dalam menghadapi upaya-upaya pendangkalan akidah tersebut. Ini menjadi tugas dan kewajiban ulama, para ustaz, orang tua, dan semua umat Islam. (Mulyana)

sumber : republika
Read more...

Ahsanu Taqwim

Dalam Alquran (QS 95: 4), Allah SWT menyatakan manusia diciptakan dalam sebaik-baik bentuk, ahsanu taqwim. Maksudnya, manusia diciptakan dalam tampilan dan sosok fisikal yang sedemikian rupa memenuhi standar dan syarat untuk bisa menjalani kehidupannya di dunia yang penuh tantangan ini.

Ini artinya, manusia diciptakan dengan memenuhi standar kelayakan untuk mampu menjalani kehidupan, yakni diberi organ tubuh yang lengkap dan sehat sebagaimana lazimnya. Bahasa teknisnya, manusia lahir ke dunia dalam keadaan sehat jasmani dan rohani. Jadi, yang dimaksud dengan ahsanu taqwim bukanlah berkaitan dengan persoalan estetika erotis: cantik, tampan, langsing, atletis, dan sejenisnya.

Masalah cantik, tampan, dan seterusnya tergantung dari bahan mentahnya. Lantas mengapa kita tidak jarang menjumpai anak-anak yang lahir dalam keadaan tidak normal, lahir tidak sebagaimana lazimnya? Misalnya, lahir cacat fisik, cacat mental, dan semacamnya? Siapakah yang salah? Tuhankah, dengan pertimbangan Dia sebagai Khalik (Pencipta)? Jika memang Tuhan, berarti Dia menyalahi karakter azali-Nya untuk menciptakan manusia hanya dalam sebaik-baik bentuk.


Untuk meneropong masalah ini, ada baiknya jika merujuk pada disiplin Ulumul Quran. Menurut Hamim Ilyas, doktor Ulumul Quran dari IAIN Sunan Kalijaga, ketika Tuhan, di dalam Alquran, mengidentifikasi suatu perbuatan yang merujuk pada-Nya dengan kata ganti 'Kami' (Nahnu, Inna, dan sejenisnya), pola seperti itu menunjukkan bahwa di dalam proses perwujudan perbuatan tersebut ada keterlibatan pihak (subjek) lain, bukan hanya aktivitas Dia sendiri.

Misalnya, ketika Tuhan menyatakan, 'Sesungguhnya Kami (Inna) yang menurunkan Alquran dan sesungguhnya Kamilah yang akan menjaganya', mengandung pengertian bahwa bukan Tuhan sendirian yang aktif menjaga Alquran, tetapi melibatkan pihak lain. Pihak lain itu bisa saja para penghafal Alquran, ulama, kiai, dan umat Islam pada umumnya.

Begitupun halnya ketika Tuhan mengidentifikasi dengan kata 'Kami' dalam hal penciptaan manusia, ''Sesungguhnya Kami menciptakan manusia dalam sebaik-baik bentuk.'' (At-Tiin: 4). Ayat ini menunjukkan adanya pola kerja sama antara Tuhan dan makhluk-Nya di dalam proses terwujudnya perbuatan tersebut (menciptakan manusia). Jadi, ahsanu taqwim kita bukanlah semata-mata hasil kerja Tuhan sendiri, kun fayakun, jadilah indah (ahsanu taqwim)! Ada keterlibatan/peran kita di dalam prosesnya.

Manusia ikut berperan dalam menentukan indah atau tidak bentuk ciptaan Tuhan atas manusia. Dan, Tuhan tidak pernah salah! Mengapa anak-anak lahir cacat? Banyak faktor manusiawi yang melatarinya, misalnya, karena orang tuanya suka berganti pasangan sehingga tertular penyakit kelamin; karena orang tuanya tidak menjaga kesehatan tubuhnya saat mengandung; karena pemerintah menoleransi perzinahan dan pelacuran; karena pemerintah tidak memperhatikan kesehatan kaum perempuan. Kesehatan kelamin, kesehatan fisik kaum perempuan (yang hamil), sangat berpengaruh bagi terwujud atau tidaknya ahsanu taqwim. Wallahu a'lam. (Sabrur R Soenardi)


sumber : Republika
Read more...

Adab Pertetanggaan

Pesatnya industrialisasi dan globalisasi yang tidak diiringi dengan peningkatan pembinaan jiwa ternyata membawa dampak buruk pada tatanan kehidupan bermasyarakat di negeri ini.

Hedonisme, keglamoran, egoisme, dan individualisme, saat ini amat mudah ditemui di tengah masyarakat kita. Sementara itu, keguyuban, kerukunan, ke-tepa selira-an, pertolong-menolongan, dan kegotongroyongan, mulai terkikis dan memudar sedikit demi sedikit. Akibatnya, masyarakat--khususnya di perkotaan--menjadi sangat tidak peduli dengan anggota masyarakat lainnya.

Ketika diundang dalam pertemuan rukun tetangga (RT), dengan banyak alasan mereka tidak menghadirinya, atau cukup membayar sejumlah uang sebagai ganti giliran meronda kampung. Maka jangan heran bila kemudian penghuni suatu rumah tidak mengenal tetangganya karena tidak ada komunikasi, keakraban, dan kepedulian antarmereka.


Tetangga, karena begitu dekat posisinya dengan kita, dalam keadaan tertentu mereka lebih berarti bila dibandingkan dengan kerabat karena keberadaan kerabat tidak selalu, secara geografis, dekat dengan kita. Tetanggalah yang dalam batas tertentu kita berikan kepercayaan untuk mengurus dan mengawasi harta dan keluarga ketika kita sedang bepergian jauh dan cukup lama.

Dalam Alquran dijelaskan bahwa perintah berbuat baik kepada tetangga disebutkan setelah perintah untuk tidak menyekutukan Allah dan perintah untuk berbakti kepada kedua orang tua. Firman Allah, artinya), ''Sembahlah Allah dan janganlah kamu mempersekutukan-Nya dengan sesuatu pun.

Berbuat baiklah kepada dua orang, ibu bapak, karib-kerabat, anak-anak yatim, orang-orang miskin, tetangga dekat dan tetangga jauh, teman sejawat, ibnu sabil, dan hamba sahaya. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang sombong dan membangga-banggakan diri.'' (QS. An-Nisa:36)

Sejalan dengan pentingnya hubungan bertetangga, maka barang siapa melalaikan hak-hak bertetangga berarti telah melakukan sebuah dosa besar yang terancam siksa neraka. Rasulullah SAW pun sangat menekankan hubungan baik kepada tetangga.

Beliau bersabda, ''Selalu Jibril berpesan kepadaku supaya berbuat baik kepada tetangga, hingga saya mengira kalau ia berhak mendapat warisan.'' (HR. Bukhori-Muslim).

Menolong, bergaul dengan baik, tidak menyakiti, dan memberi pembelaan, merupakan bentuk perbuatan baik kepada tetangga, di samping juga kita perlu memuliakan mereka. Salah satunya dengan memberi hadiah, meskipun kecil nilainya.

Rasulullah pernah menasihati Abu Zar, beliau bersabda, ''Wahai Abu Zar, jika engkau memasak, perbanyaklah airnya. Berilah tetanggamu.'' (HR. Muslim)Demikianlah keagungan ajaran Islam dalam membentuk keharmonisan kehidupan bermasyarakat, hingga perkara sepele.

Namun, kadang kita melalaikannya dan justru membanggakan aturan yang bersumber dari akal sempit dan dituntun oleh hawa nafsu jahat, sehingga timbullah ketimpangan. Wallahu A'lam. (Subhan Fathuddin)

sumber : Republika
Read more...

Adab Bertetangga

Islam memerintahkan umatnya untuk bertetangga secara baik. Bahkan, saking seringnya Jibril mewasiatkan agar bertetangga dengan baik, Rasulullah pernah mengira tetangga termasuk ahli waris. Kata Rasulullah, seperti diriwayatkan oleh Aisyah, ''Jibril selalu mewasiatkan kepadaku tentang tetangga sampai aku menyangka bahwa ia akan mewarisinya.'' (HR Bukhari-Muslim).

Namun, ternyata waris atau warisan yang dimaksud Jibril adalah agar umat Islam selalu menjaga hubungan baik dengan sesama tetangga. Bertetangga dengan baik itu, termasuk menyebarkan salam ketika bertemu, menyapa, menanyakan kabarnya, menebar senyum, dan mengirimkan hadiah. Sabda Rasulullah SAW, ''Wahai Abu Dzar, jika engkau memasak sayur maka perbanyaklah airnya dan bagikanlah kepada tetanggamu.'' (HR Muslim).


Lihatlah, betapa ringan ajaran Rasulullah, namun dampaknya sangat luar biasa bagi kerukunan dan keharmonisan kita dalam bermasyarakat. Untuk memberi hadiah tidak harus berupa bingkisan mahal, tapi cukup memberi sayur yang sehari-hari kita masak.

Untuk menjaga hubungan baik dengan tetangga, Rasulullah juga memerintahkan untuk saling menenggang perasaan masing-masing. ''Barang siapa yang beriman kepada Allah dan Hari Akhir,'' kata Rasulullah, ''maka hendaknya ia tidak menyakiti tetangganya.'' (HR Bukhari).

Suatu kali, seorang sahabat bertanya kepada Rasulullah tentang seorang wanita yang dikenal rajin melaksanakan shalat, puasa, dan zakat, tapi ia juga sering menyakiti tetangganya dengan lisannya. Rasulullah menegaskan, ''Pantasnya dia di dalam api neraka!''

Kemudian, sahabat itu bertanya lagi mengenai seorang wanita lain yang dikenal sedikit melaksanakan shalat dan puasa, namun sering berinfak dan tidak menyakiti tetangganya dengan lisannya. Jawab Rasulullah, ''Ia pantas masuk surga!'' (HR Ahmad).

Seorang wanita bersusah payah melaksanakan shalat wajib, bangun malam, menahan haus dan lapar, serta mengorbankan harta untuk berinfak, namun menjadi mubazir lantaran buruk dalam bertutur sapa dengan tetangganya. Rasulullah bersumpah terhadap orang yang berperilaku demikian, tiga kali, dengan sumpahnya, ''Demi Allah tidak beriman, demi Allah tidak beriman, demi Allah tidak beriman
...!''

Sahabat bertanya, ''Siapa, ya Rasulullah?'' Beliau menjawab, ''Orang yang tetangganya tidak pernah merasa aman dari keburukan perilakunya.'' (HR Bukhari).

Suatu kali, Aisyah pernah bingung mengenai siapa di antara tentangganya yang harus diutamakan. Lalu, ia bertanya kepada Rasulullah, ''Ya Rasulullah, saya mempunyai dua orang tetangga, kepada siapakah aku harus memberikan hadiah?'' Beliau bersabda, ''Kepada yang paling dekat rumahnya.'' (HR Bukhari).

Rasulullah menjadikan akhlak kepada tetangga sebagai acuan penilaian kebaikan seseorang. Kata beliau, ''Sebaik-baik kawan di sisi Allah adalah yang paling baik (budi pekertinya) terhadap kawannya, sebaik-baik tetangga adalah yang paling baik kepada tetangganya.'' (HR Tirmidzi). (Didik Hariyanto)

sumber : Republika
Read more...
Senin, 03 Januari 2011

REUNI ALUMNI SMA NEGERI 3 KISARAN Angkatan 2003-2010



Assalmualikum...
Salam sejahtera buat kita semua..

Puji Syukur kita panjatkn kehadiratAllah, Tuhan Yang Maha Kuasa, akhirnya kita para alumni di beri kesempatan untuk melaksanakan sebuah Acara yang paling seru da penuh memory, yaitu REUNI ALUMNI SMA NEGERI 3 KISARAN Angkatan 2003-2010.
Insyaallah, akan diadakan pada tanggal 30 Januari 2011, pukul 10.00 WIB-selesai di BALLROOM SABTY GARDEN HOTEL, Jln. Diponegoro No. 230 A Kisaran.


Setiap Alumni dikenakan biaya sebesar Rp 50.000,- guna memperlancar acara tersebut. Namun, bagi Alumni-alumni yang sudah memiliki penghasilan/rezeki yang lebih, kami Panitia Penyelanggara dengan rasa syukur, sangat senang untuk menerima sumbangan/bantuan dari Para Alumni.

Seperti Brosur/Poster di atas, dalam kegiatan sangat membutuhkan kerjasama yang begitu baik. Maka setiap Angkatan (Stambuk), akan dikoordinator oleh satu orang. Umumnya, koordinator adalah Mantan Ketua OSIS, namun karna keterbatasan hal maka bisa diganti dengan yang lain. Untuk itu, bagi temen2 dan Kakak2 Alumni yang berminat untuk ikut dan berpartisipasi dalam acara ini, bisa mendaftarkan dengan menghubungi setiap koordinator stambuk masing-masing. Bagi yang telah LUNAS membayar maka nanti Panitia Penyelenggara akan langsung memberi Surat Undangan beserta Kupon Lucky Draw.

Fasilitas yang akan didapat, yaitu : Ruang Full AC, Makan Siang, Tanda Peserta, Kupon Lucky Draw, dan tentunya hiburan-hiburan yang pasti seru, berupa Band dan Keyboard dan yang lainnya.

Ini sebenarnya Rencana yang kesekian kali yang baru ini akan dilaksanakan. Untuk itu, mari kita Sukseskan REUNI ini dengan ikut berpartisipasi. Jika ini sukses, maka bukan tidak mungkin Pihak Sekolah akan semakn percaya akan keseriusan kita, para Alumni SMAN 3 Kisaran untuk mengadakan REUNI di masa mendatang.

Mari kita bangkitkan masa kenangan indah sewaktu SMA dulu. Bercanda bersama sahabat. Selalu bersama saat suka maupun duka. Kita lihat kembali keadaan Sang Pendidik kita, Guru kita yang kita cintai

^_^

Dalam REUNI ini, kita juga nanti akan membentuk sebuah ikatan, yaitu "IKATAN ALUMNI SMA NEGERI 3 KISARAN", yang begitu banyak manfaatnya bagi kita. Alumni-alumni akan terkoordinir dalam sebuah ikatan yang resmi. Kita akan semakin erat dan semakin mudah untuk berkomunikasi sehingga kendala-kendala untuk membuat sebuah acara bisa diminimalisir/diatasi seperti keterbatasan Info, Jarak, Waktu dan lainnya. Jadi, IKATAN ALUMNI SMA NEGERI 3 KISARAN akan memiliki sebuah Pengurus dan tetap di bawah naungan SMA NEGERI 3 KISARAN.

Ne Lokasi Pesta nya:


Lihat Tanpa judul di peta yang lebih besar


Contact Person:

(2003)Hardiansyah >> 081361106159
(2004)Irwansyah Putra Nst >> 081396817533
(2004)Andi Pratama >> 085262812670
(2005)Bambang Kuncoro >> 081260711322
(2006)Julyandi Hasmy >> 081397729281
(2007)Winda >> 087892611221
(2008)Fachri Irawan >> 085361066747
(2009)Sri Ramadhani >> 081396394645
(2010)Muhammad Fauzie >> 087867186698
(2010)Abdul Karim Syahputra >> 085270011775
Read more...
 
Aa' kayim d'kiLL © 2011 DheTemplate.com & Main Blogger. Supported by Makeityourring Diamond Engagement Rings

You can add link or short description here